Jumat, September 4

 
ZAKAT FITRAH

Zakat fitrah di wajibkan pada tahun kedua yaitu pada tahun di wajibkan puasa. Dalil yang mewajibkan zakat fitrah adalah hadist Nabi Saw :
فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم زكاة الفطر من رمضان على الناس صاعا من تمراوصاعا من شعير على كل حر اوعبد ذكر او انثى من المسلمين.
Satu sha’ = 2751 gram menurut mayoritas ulama, sedangkan menurut Imam Abu Hanifah 3800 gram.
Hikmah zakat fitrah ialah memperbaiki kekurangan puasa seseorang dan mencegah pakir miskin meminta-minta pada hari raya. Sesuai dengan hadist Nabi :
أغنوهم عن الطوف في هذا اليوم (رواه الدار قطني وابن عاد وحاكم).
Setiap orang yang wajib di belanjai wajiblah dia mengeluarkan zakat fitrahnya. Anak yang sudah dewasa dan tidak sekolah lagi tidak wajib bahkan tidak syah bagi orang tua untuk membayar zakat fitrahnya, tanpa seizin anak tersebut.
Mayoritas ulama berpendapat kewajiban membayar zakat fitrah mulai terbenam matahari malam hari raya. Menurut mazhab Syafi’i boleh menyerahkan pembayaran zakat fitrah semenjak awal ramadhan. Menurut mazhab Syafi’i dan Hanbali di anjurkan pembayaran zakat fitrah sebelum shalat hari raya dan akhir pembayarannya sebelum terbenam matahari satu syawal.
JENIS ZAKAT FITRAH, SIFAT DAN KEADAANYA
Mazhab Hanafi berpendapat jenis zakat fitrah ada 4 macam : Gandum, Kacang, Tamar dan Buah Anggur. Kadarnya adalah : gandum = 1 gantang = 1900gram, sedangkan kacang, tamar dan buah anggur = 1 gantang = 3800gram. Hadis yang menjadi dalil pada pendapat ini adalah ma’lul dan bergoncang sanadnya, dan menurut mazhab Hanafi boleh membayar zakat fitrah dengan uang, alasannya hadist Nabi Saw
أغنوهم عن المسألة في مثل هذا اليوم.
Mayoritas ulama berpendapat jenis zakat fitrah adalah segala biji-bijian dan buah-buahan yang di jadikan makanan pokok. Kadarnya 1 gantang = 2751 gram, dalilnya lebih shohih dari dalil yang di pakai oleh Mazhab Hanafi. Menurut jumhur ulama tidak boleh membayar zakat fitrah dengan harga, orang yang membayar zakat fitrah dengan harga, tidak syah. Karena hadist Nabi Saw :
فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم زكاة الفطر من رمضان على الناس صاعا من تمر اوصاعا من شعير الى أخر الحديث.
Jika seseorang tidak melaksanakan yang di wajibkan Nabi tersebut, maka dia meninggalkan sunnah Nabi Saw.
MUSTAHAQ (Orang yang berhak menerima ) ZAKAT
Berdasarkan surat At Taubah ayat 60 :
انما الصدقات للفقراء والمساكين والعاملين عليها والمؤلفة قلوبهم وفي الرقاب والغارمين وفي سبيل الله وابن السبيل والله عليم حكيم.
Yang berhak menerima zakat berdasarkan ayat di atas hanya delapan orang, hal ini di pahami dari kata “Innama” yang menurut nahwu di namakan ” Kafah Wa Makfufah” sedangkan menurut balaghoh di namakan ” Adat Al Hasr” yakni membatasi suatu masalah. Oleh karena itu zakat tidak boleh di berikan selain kepada mustahaq yang delapan. Kalimat “As Shodaqoot” menunjukkan segala macam zakat, baik zakat fitrah atau zakat harta benda, sebab kalimat “As Shodaqoot” adalah jamak. Bila Amil atau Pemerintah yang membagikan zakat, wajib menyamaratakan di antara mustahaq yang ada selain bagian Amil. Hal ini di pahami dari huruf “Waw” yang berfungsi mengatopkan satu mustahaq ke mustahaq yang lain, “Waw” pada kalimat tersebut di namakan “At Tasyriik”.
Mustahaq Tersebut :
Al Faqir :
من لا مال له ولا كسب يقع موقعا من حاجته.
Faqir adalah Orang yang tidak memiliki harta dan tidak punya usaha yang mencukupi kebutuhannya. Misalnya dia membutuhkan sepuluh sedang yang di dapatnya hanya empat atau kurang seperdua dari yang di butuhkannya. Dari kata “Al Fuqoro’” (jamak taksir) zakat tidak boleh di berikan kepada satu atau dua orang faqir saja, minimal wajib tiga orang.
Miskin :
من قدر مالا اوكسب حلالا يساوي نصف ما يكفه اواكثر من النصف.
Miskin adalah Orang yang memiliki harta dan punya usaha yang halal dan dapat menutupi separoh atau lebih dari kebutuhannya tapi tidak cukup. Menurut mazhab Syafi’i dan Hanbali Fakir lebih buruk keadaanya di banding dari Miskin. Alasan mereka : Allah memulai firmannya dengan menyebut “Al Fuqoro’” baru kata “Masaakin”. Dan hadist yang menyatakan bahwa Nabi Saw pernah meminta agar beliau di berikan kehidupan dalam kemiskinan dan Nabi berlindung dari kefaqiran. (hadistnya riwayat Tirmizi).
Faqir menurut etimologi adalah Orang yang tercabut tulang belakangnya lalu putus tulang sulbinya, Sedang menurut Mazhab Hanafi dan Maliki miskin lebih buruk keadaannya dari orang faqir, karena kata miskin menurut mereka orang yang tak punya tempat tinggal.
‘Amil :
هم الذين يولهم الامام اوالنائبة, العمل على جمع الزكاة من الأغنياء.
Amil adalah Orang yang di angkat oleh Imam atau yang mewakilinya untuk mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya. Amil yang berhak menerima zakat hanyalah amil yang di angkat pemerintah. Dengan alasan bahwa Nabi Saw dan Khulafaurrosyidin mengangkat amil pada waktu itu. Hadist tentang Nabi mengangkat amil di riwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim, dan hadist lain berbunyi :
بعث عمر بن الخطاب رضي الله عنه على الصدقة
Umar bin Khattob mengangkat amil untuk memungut zakat.
Amil zakat yang bukan di angkat pemerintah (yang di angkat masyarakat) bukanlah amil zakat yang berhak menerima zakat. Menurut UU zakat yang telah di putuskan oleh Presiden, bahwa amil di desa atau kecamatan adalah orang yang di ajukan oleh KUA kecamatan dan di lantik camat.
Syarat-Syarat Amil :
ويشترط في هذا أن يكون فقيها بما فوض اليه منها وأن يكون مسلما مكلفا عدلا سميعا بصيرا ذكرا.
Di syaratkan amil yang di angkat itu :
Ahli fiqh tentang zakat
Muslim
Baligh lagi berakal
Merdeka lagi adil
Jelas pendengaran dan penglihatan
Laki-laki
Pendistribusian zakat kepada mustahaknya wajib di sama ratakan oeh amil kepada golongan mustahak yang ada. Sesuai dengan pendapat Imam Nawawi :
وان وجد منهم خمسة وجب لكل صنف خمس.
Dan kalau di dapat hanya lima golongan saja maka wajib bagi setiap golongan seperlima. Bagian untuk pribadi –pribadi setiap golongan boleh berlebih kurang sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Bahagian amil bukan seperdelapan tetapi hanya sekedar upah yang layak sesuai dengan pekerjaannya, demikian pendapat Imam Nawawi dalam kitab “Al Majmu’.
Pemerintah atau amil tidak sah memperjual belikan zakat. Hal ini sesuai dengan hadist Nabi yang berbunyi :
لا يبيع الا فيما يملك (رواه ابوداود).
Tidak sah jual beli pada barang yang bukan di miliki.
Jelas dalam hal ini bahwa amil bukanlah pemilik zakat, akan tetapi amil hanyalah pencatat, pengumpul, penjaga dan pembagi zakat kepada mustahak. Ukuran upah yang di peroleh amil dari harta zakat di sesuaikan dengan gaji harian yang berlaku di daerah tersebut.
Muallaf
Muallaf ada 2 macam : Orang Islam dan Orang kafir.
Orang kafir yang termasuk Muallifati Qulubihim ada dua macam :
Orang kafir yang di harapkan kebaikannya
Orang kafir yang di khawatiri kejahatannya
Kedua golongan ini menurut Imam Hanbali dan Maliki tetap di berikan zakat agar mereka tetap tertarik kepada Islam, sedang menurut Imam Hanafi dan Syafi’i kedua golongan tersebut tidak di berikan zakat. Sebab khulafa’ arrosyidin sesudah Nabi Muhammad Saw tidak memberikan zakat kepada mereka.
Adapun orang yang baru masuk Islam, maka zakat di berikan kepada empat golongan dari mereka :
1. Orang Islam yang niatnya masih lemah
2. Orang Islam yang punya kedudukan terhormat, dengan di berikan zakat kepadanya ada harapan masuk Islam teman-teman sekedudukan dengannya.
3. Orang Islam yang ada di forn terdepan dalam menghadapi orang kafir
4. Orang Islam yang memerangi si pembangkang zakat.
5. Ar Riqob (Hamba)
Hamba menurut mayoritas ulama adalah Hamba yang beragama Islam yang sudah di tentukan tuannya berapa yang harus di bayarnya supaya dia merdeka. Perlu di jelaskan bahwa hamba sekarang ini masih ada yaitu di daerah Meuritania. Hamba mukatab boleh menerima zakat sebanyak yang di tentukan tuannya.
6. Ghorim
Ghorim adalah orang yang berhutang, menurut Mazhab Hanbali dan syafi’i utangnya untuk pribadinya atau untuk orang lain, sama ada utangnya untuk taat atau maksiat.
Bila utangnya untuk pribadinya tidak boleh di berikan zakat kecuali dia benar-benar fakir (tidak mampu membayarnya). Bila utang karena mendamaikan orang boleh dia menerima zakat, untuk menutupi utang tersebut meskipun dia kaya. Jika utangnya karena maksiat boleh dia menerima zakat bila dia sudah bertaubat dari maksiat tersebut dan dia tidak mampu membayarnya. Orang yang berhutang di sebabkan kemaslahatan umat seperti membangun mesjid, madrasah atau kebutuhan orang banyak, boleh menerima zakat untuk membayar utang tersebut, meskipun dia kaya.
Perlu di ketahui bahwa utang piutang tidak boleh di jadikan zakat seperti si A punya hutang pada si B sebanyak 100.000 dan kebetulan si B wajib mengeluarkan zakat, maka hutang si A tidak boleh di jadikan zakat oleh si B.
7. Sabilillah
الغزة الذين لا حق لهم في الديون بل يغرون منطوعين وبه قال ابو حنيفة ومالك رحمهما الله
Orang yang berperang melawan orang kafir yang tidak ada hak (gaji) mereka dalam daftar gaji bahkan mereka berperang secara suka rela. Sependapat dengan defenisi Imam Abu Hanifah dan Malik. Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat boleh memberi zakat kepada orang yang akan menunaikan ibadah haji (bahagian sabilillah). Pendapat Imam Ahmad bin Hanbal ini sesuai dengan pendapat Abdullah bin Umar Ra. Dan hadist yang di jadikan alasan Imam Ahmad bin Hanbal statusnya mudallas (samar-samar) ya’ni tidak patut di jadikan hujjah.
Alasan Mazhab Syafi’i bahwa yang di maksud fi sabilillah adalah orang yang berperang melawan orang kafir adalah :
1. Pemahaman yang timbul dengan segera dari kata sabilillah adalah berperang, demikianlah yang paling banyak di jumpai dalam Al qur’an.
2. Hadist yang berbunyi :
لاتحل صدقة لغني الا الخمسة………. اوغامر في سبيل الله (رواه ابو داود وابن ماجه)
Tidak boleh di berikan zakat kepada orang kaya kecuali lima bagian, salah satu di antaranya orang yang berperang fi sabilillah.
Akan tetapi menurut tapsir Al manar juz X halaman 493 :
سبيل الله يشمل سائر المصالح الشرعية العامة
Fi sabilillah mencakup sekalian kemaslahatan yang di bolehkan syariat secara umum. Imam Al Kasani dalam kitab Al Bada’I menapsirkan sabilillah itu dengan sekalian jalan mendekatkan diri kepada tuhan. Sebab kata beliau kata sabilillah itu umum mencakup pembangunan masjid dan seumpamanya. Sebagian ulama Hanafi berpendapat sabilillah adalah penuntut ilmu walaupun dia kaya.
8. Ibnu Sabil
ابن السبيل هو المسافر او من يمشي السفر هو يحتاج في سفره
Adalah orang yang sedang musafir atau orang yang bermaksud musafir dan dia membutuhkan perbelanjaan pada waktu musafirnya. Di berikan zakat kepada orang yang musafir sebanyak kebutuhannya dan kebutuhan orang yang menemaninya (belanja, pakaian, perongkosan pulang pergi yang layak). Dan bila tidak ada harta orang yang musafir di perjalanannya atau di tempat tujuannya.
H. MAHMUDDIN PASARIBU
USTADZ MA’HAD MUSTHAFAWIYAH




Zakat dengan UANG ??? 4 mazhab

Nashir Ahmad M.


Zakat fitrah adalah zakat yang ditunaikan karena berbuka puasa Ramadlan, atau
zakat yang wajib ditunaikan menyusul berakhirnya bulan Ramadlan. Dengan
demikian, meskipun ia termasuk ibadah tersendiri, namun tidak bisa dilepaskan
hubungan dan rangkaiannya dengan bulan Ramadlan.

Zakat fitrah adalah wajib hukumnya. Dasar hukumya adalah al-Qur’an, hadits, dan
ijma’ para ulama. Kewajiaban ini berlaku pada orang muslim laki-laki,
perempuan, anak-anak, dewasa, orang merdeka dan hamba. (1)
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Ibn Umar :
“Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah dari bulan Ramadlan satu sha’ kurma
atau satu sha’ gandum atas hamba, orang merdeka, laki-laki, perempuan,
anak-anak, dan orang dewasa dari kalangan muslimin.”

Di antara fungsi dari zakat ini adalah untuk mengembalikan seorang muslim dari
fitrahnya, dengan mensucikan jiwa mereka dari kotoran-kotoran (dosa-dosa) yang
disebabkan oleh pengaruh pergaulan dan sebagainya, sehingga seseorang itu
keluar dari fitrahnya. Di samping pula, juga untuk menyempurnakan ibadah puasa.
Artinya, ketika seseorang melakukan maksiat di bulan puasa, maka akan
mengurangi kesempurnaan puasa itu. Dan zakat fitrah inilah yang akan menutup
kekurangan itu.

Kadar dan Jenisnya

Ada hadits dari Abu Said Al-Khudri :
“Kami pada masa Rasulullah SAW mengeluarkan zakat fitrah satu sha’ makanan,
atau satu sha’ gandum, atau satu sha’ keju, atau satu sha’ kurma.”

Sebagaimana hadits di atas, bahwa zakat fitrah itu wajib atas tiap-tiap muslim
tanpa membedakan status sosial dan ekonominya, maupun tingkat umurnya. Dalam
hal ini jumhur Ulama menentukan syarat wajib bagi pembayarnya, yaitu memiliki
kelebihan makanan untuk sehari semalam, pada malam hari raya Idul Fitri.(2)

Di samping itu, dalam hadits tersebut juga menerangkan kadar jumlah dan jenis
bahan apa yang harus dikeluarkan. Di sinilah para ulama berbeda pendapat dalam
memahami isi hadits tersebut. Seperti beragamnya jenis bahan yang harus
dibayarkan (kurma, gandum, keju dan lain-lain). Ada yang menyatakan kebolehan
memilih, dan pilihan itu diserahkan kepada yang berkewajiban mengeluarkannya.
Namun sebagian ulama yang lain menyatakan, beragamnya jenis bahan makanan
tersebut menunjukkan adanya realitas keragaman makanan pokok di suatu daerah.
Atau makanan pokok orang-orang yang mengeluarkan zakat fitrah waktu itu. Maka
menurut pendapat yang kedua ini, yang harus dipilih untuk zakat fitrah adalah
jenis makanan pokok yang umum berlaku di suatu daerah.

Adapun kadar yang dikeluarkan — sebagaimana hadits di atas — adalah satu sha’.
Satu sha’ sama dengan empat mud, dan satu mud sama dengan 6,75 ons. Jadi satu
sha’ sama dengan 27 ons (2,7 kg). Demikian menurut madzhab Maliki.(3)
Sedangkan menurut al-Rafi’i (madzhab Syafi’i), sama dengan 693 1/3 dirham.(4)
Jika dikonversi satuan gram, sama dengan 2,751 gram (2,75 kg).(5) Kyai
Maksum-Kwaron Jombang menyatakan satu sha’ sama dengan 3,145 liter, atau 14,65
cm2 atau sekitar 2,751 gram. Dari kalangan Hanbali, satu sha’ juga sama dengan
2751 gram (2,75 kg). Di Indonesia, berat satu sha’ dibakukan menjadi 2,5 kg.(6)

Imam Hanafi memperbolehkan membayar zakat fitrah dengan uang senilai bahan
makanan pokok yang wajib dibayarkan. Namun ukuran satu sha’ menurut madzhab
ini lebih tinggi dari pendapat para ulama yang lain, yakni 3,8 kg. (7)
Sebagaimana tercantum dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu karya Wahbah
Zuhailli :
“Satu sha’ menurut imam Abu Hanifah dan imam Muhammad adalah 8 rithl ukuran
Irak. Satu Rithl Irak sama dengan 130 dirham atau sama dengan 3800 gram (3,8
kg).”(8)

Sementara jumhur ulama, baik Syafi’iyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah menyatakan
kesepakatannya tentang ketidakbolehan membayar zakat fitrah dengan selain bahan
makanan pokok.(9) Lalu bagaimana kita menyikapi hal ini? Mana yang harus kita
pilih? Ataukah dua-duanya sama sama benar. Dan bagaimana seandainya ada orang
membayar zakat fitrah dengan uang (menurut Hanafi), tapi ukurannya memakai 2,5
kg (selain Hanafi) sebagaimana yang sering terjadi sekarang ini? Untuk menjawab
persoalan ini memang tidak cukup hanya mengkaji persoalan masalah hukum zakat
saja, tapi bagaimana kita menyikapi sebuah perbedaan pendapat di kalangan ulama
madzhab.

NU sebagai organisasi yang sangat intens sekali terhadap persoalan-persoalan
yang menyangkut hukum-hukum agama, pada dasarnya telah mengakomodir dan
mengakui keberadaan empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) yang
sangat terkenal itu. Terutama madzhab Syafi’i yang banyak diikuti oleh warga
NU, bahkan mayoritas umat Islam di Indonesia. Akan tetapi, bukan berarti umat
Islam, khususnya NU dengan mudahnya mengikuti satu madzhab, kemudian pada
persoalan lain ia pindah ke madzhab lain. Atau dalam satu persoalan (satu
rangkaian ibadah) ia memakai berbagai macam pendapat madzhab. Yang jelas semua
itu harus ada aturan mainnya.

Untuk menyikapi adanya perbedaan itu, seseorang diperbolehkan pindah madzhab
atas sebuah rangkaian ibadah (satu qadhiyah). Namun demikian para ulama
mensyaratkan beberapa hal, di antaranya yang pertama tidak diperbolehkah
tasahul, artinya hanya mengambil beberapa yang paling ringan dari beberapa qaul
madzhab. Dan yang kedua, talfiq, yaitu suatu kondisi di mana seseorang
melakukan perbuatan yang oleh seluruh imam yang diacunya membatalkan perbuatan
itu. Kondisi itu bisa digambarkan ketika seseorang berwudlu tanpa menggosok
tangan (al-dalku) karena ikut Syafi’i. Kemudian dia menyentuh farji tanpa
syahwat, dan dia menganggap wudlunya tidak batal karena pindah ke madzhab
Maliki.(10) Kemudian orang itu shalat. Maka kedua imam ini memandang shalatnya
tidak sah karena memang wudlunya tidak sah.(11)

Lantas bagaimana dengan zakat fitrah? Jelas kalau orang itu mau membayar dengan
uang, maka mestinya ia harus memakai ukuran Hanafi, yaitu 3,8 kg seharga
makanan pokok.(9) Tetapi kalau kadarnya memakai 2,5 kg (memakai ukuran
Indonesia) atau kurang lebih 2,75 kg (menurut jumhur), maka kalau mengacu
kepada persoalan di atas, ia akan masuk ke dalam katagori talfiq, sebab dia
melakukakan intiqal al-madzhab (pindah madzhab) dalam satu rangkaian ibadah
(qadhiyah). Praktek seperti ini menjadi tidak sah menurut semua madzhab. Hanafi
menyatakan tidak sah karena ukurannya tidak memakai 3,8 kg, dan madzhab yang
lain (Maliki, Syafi’i dan Hanbali) juga menyatakan tidak sah, karena
pembayarannya tidak dengan makanan pokok. Atau juga bisa masuk tasahul, kalau
niat dari seseorang itu hanya mencari yang mudah dan ringan saja.

Alhasil, apa yang terjadi di masyarakat, memang tidak lepas dari masalah
khilafiyyah yang sebenarnya sudah terakomodir oleh ulama madzhab. Kalau kita
orang awam, tidak harus mengetahui semuanya, tapi cukup mengikuti salah
satunya.(12) Kalau mau pindah ke yang lain, maka ikuti aturan-aturannya.
Misalnya bagi mereka yang mengikuti Hanafi, maka pakai semua aturan dalam satu
rangkaian ibadah menurut Imam Hanafi (tidak sepotong-potong). Demikian pula
kalau menginginkan menggunakan madzhab lain. Wa allahu a’lam bisshawab.

=== CATATAN ::::::

1. Lihat al-Syarqawi, Hasyiah al-Syarqawi ‘ala al-Tahrir, al-Haramain,
tt, juz I, hal.386 dan Ibrahim al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri, Beirut, Dar
al-Fikr, tt, Juz I, hal, 289.
2. Al-Bajuri, Ibid, Juz I, hal. 290.
3. Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Beirut, Dar
al-Fikr, tt, Juz II, hal. 910.
4. Al-Syarqawi, Op cit, Juz I, hal. 371. Lihat juga Al-Husaini, Kifayat
al-Akhyar, Dar al-Fikr, Juz I, hal. 295; Wahbah Al-Zuhaili, Tafsir al-Munir,
Dar al-Fikr, Juz II, hal. 141.
5. Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiq al Islami, Ibid, Juz II hal, 911.
6. Pembakuan 2,5 kg ini barangkali untuk mencari angka tengah-tengah
antara pendapat yang menyatakan 1 sha’ adalah 2,75 kg, dengan 1 sha’ sama
dengan di bawah 2,5 kg. Sebab menurut kitab al-Fiqh al-Manhaj, Juz I, hal 548,
1 sha’ adalah 2,4 kilo gram. Ada juga yang berpendapat 2176 gram (2,176 kg). Di
dalam kitab al Syarqawi, op cit, juz I hal. 371, Al-Nawawi menyatakan 1 sha’
sama dengan 683 5/7 dirham. Jika di konversi dalam satuan gram, hasilnya tidak
jauh dari 2176 gram. Baca juga Idrus Ali, Fiqih Kontekstual; Khulasah
Istilah-istilah Kitab Kuning, Kuliah Syari’ah PP. Sidogiri, 1423 H, hal. 20-21.
7. Di antara kelompok Hanafiyah adalah Imam Abu Yusuf menyatakan: Saya
lebih senang berzakat fitrah dengan uang dari pada dengan bahan makanan, karena
yang demikian itu lebih tepat mengenai kebutuhan miskin. Lihat Dr. Ahmad
al-Syarbashi, Yas’alunaka fi al-Dini wa al-Hayat, Beirut: Dar al Jail, Cet. ke
III, 1980, Juz II, hal. 174. Juga Mahmud Syaltut di dalam kitab Fatawa-nya
menyatakan : Yang saya anggap baik dan saya laksanakan adalah, bila saya berada
di desa, saya keluarkan bahan makanan seperti kurma, kismis, gandum, dan
sebagainya. Tapi jika saya di kota, maka saya keluarkan uang (harganya). Baca
Mahmud Syaltut, Al-Fatawa, Kairo: Dar al-Qalam, cet. ke III , 1966, hal. 120.
Kedua tokoh ini membolehkan zakat fitrah dengan uang, dan di dalam bukunya
tersebut memang tidak dijelaskan berapa ukuran sha’ menurutnya. Namun sebagai
tokoh Hanafiyyah, mereka kemungkinan kecil untuk memakai ukuran madzhab lain
(selain Hanafi). Wa Allahu
a’lam.
8. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz II, hal. 909.
9. Wahbah al-Zuhaili, Ibid, hal. 909.
10. Dalam masalah wudlu, imam Syafi’i tidak mewajibkan menggosok anggota
badan yang di basuh, sedangkan imam Malik mewajibkannya. Kemudian dalam hal
menyentuh farji, imam Syafi’i secara mutlak membatalkannya, sedangkan imam
Malik tidak batal jika tanpa syahwat.
11. Sayid Abd. Rahman bin Muhammad bin Husain Umar al Ba’lawi, Bughiyah al
Mustarsyidin, Beirut: Dar al-Fikr, tt, hal. 9.
12. Menurut Imam Ghazali, wajib bagi orang awam untuk taqlid kepada salah
satu madzhab. Lihat Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali , al-Mustashfa,
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000, hal. 371.


Sumber:
http://gp-ansor.org/?p=5847

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Berlangganan Postingan [Atom]