Sabtu, Oktober 4

 

RIWAYAT ULAMA BOGOR

Tapak Jejak Ulama Legendaris

KH. Abdullah Bin Nuh.ra



Tak ada kata paling indah untuk melukiskan dan mengenang jasa-jasanya, kecuali dengan satu ungkapan bahwa KH Abdullah bin Nuh adalah seorang ulama legendaris, berilmu amaliyah dan beramal ilmiyah


Sosoknya jauh dari pesona kepahlawanan. Tinggi semampai dengan kulit kuning langsat, tutur katanya lembut, selembut senyum dan tatap matanya, tetapi dikancah pendidikan, sepak terjangnya laksana singa gurun yang pantang menyerah, dialah Al Ustadz, Al Alim, Al Mutawadli bahkan Al Mujahid fi Sabilillah KH Abdullah bin Nuh yang tak kenal lelah, penerus cita-cita dan pendiri beberapa yayasan pendidikan Islam di Indonesia. jasa-jasanya pantas dicatat sejarah. Seorang nasionalis yang selalu ‘membakar’ murid-muridnya dengan semangat persaudaraan.

Lahir di Cianjur, tepatnya di Kampung Bojong Meron pada tahun
1324 H. atau lengkapnya tanggal 30 Juni 1905 M. Ayahnya Rd Mohamad Nuh bin Idris lahir tahun 1879. Dikenal sebagai pendiri Madrasah Al I’anah Cianjur dan murid utama KH Muhtar seorang guru besar di Masjidil Harom Makkah. Rd Mohamad Nuh bin Idris Wafat tahun 1966. Sedangkan Ibunya bernama Raden Aisyah binti Rd. Muhammad Sumintapura adalah seorang Wedana di Tasikmalaya di Zaman colonial Belanda.

Melihat kepada nasabnya, KH Abdullah bin Nuh itu putra dari KH Rd Nuh bin Rd H Idris bin Rd H Arifin bin Rd H Sholeh bin Rd H Musyidin Nata Praja bin Rd Aria Wiratanudatar V (dalem Muhyiddin) bin Rd Aria Wiratanudatar IV(dalem Sabiruddin) bin Rd Aria Wiratanudatar III (Dalam Astramanggala) bin Rd Aria Wiratanudatar II (dalam Wiramanggala) bin Rd Aria Wiratanudatar I (Dalem Cikundul).

Di usia balitanya, KH Abdullah bin Nuh dibawa keluarganya bermukim di Makkah. Disana beliau tinggal selama 2 tahun bersama Nyi Raden Kalifah Respati, nenek ayahnya yang kaya raya di Cianjur dan ingin meninggal di Makkah. Mungkin, karena pengalaman di Makkah itulah hingga dihati beliau tumbuh berkembang bakatnya untuk menjadi penyair dan sastrawan Arab. Pasalnya seringkali beliau bercerita pada keluarganya tentang pedagang-pedagang makanan pagi di Makkah yang menjajakan barang dagangan sambil berseru “El Batato Ya Nas” . rupanya pengalaman itu cukup mendalam di relung hati beliau, sehingga pada saat-saat tertentu beliau suka bernyanyi nyanyi kecil “El Batato Ya Nas...El Batato Ya Nas.” Kalau di Indonesia, tak ubahnya seperti pedagang-pedagang yang ada di Jogya yang menjajakan dagangannya sambil berseru “Gudege nggih den.... Gudege nggih den”.

Pulang di Makkah, Pendidikan formalnya diawali dari Madrasah Al I’anah Almubarokah yang didirikan Ayahnya pada tahun
1912. Salah satu Mandrasah yang boleh dibilang sebagai kawah candra dimuka bagi kelahiran para pahlawan dan sastrawan muslim yang kebesaran namanya tidak hengkang digerus zaman.

Sejak kecil, kecerdasan dan ketajaman hati, KH Abdullah bin Nuh memang sudah terang keunggulan ilmunya. Di usianya yang baru 8 tahun sudah mengusai bahasa Arab. Juara Al Fiah, sanggup menghafal Al Fiah Ibnu Malik dari awal sampai akhir bahkan, dibalik dari akhir keawal. Selain belajar di Al I’anah, beliau pun tidak henti-hentinya menggali dan menimba ilmu dari ayahnya. hal itu pernah ungkapkannya kepada salah seorang muridnya. Kata Beliau : “Mama Mah Tiasa Maca Ihya Teh Khusus Ti Bapak Mama”.

Pada tahun
1918, Madrasah Al I’anah melahirkan murid-murid pilihannya yang terdiri dari Rd. Abullah (KH Abdullah bin Nuh) Rd. M Zen, Rd. Taefur Yusuf, Rd. Asy’ari, Rd. Akung dan Rd. M Soleh Qurowi. Ke 6 orang murid yang bergelar dakhiliyyah itu diberangkatkan ke Pekalongan, mereka bermukim di internat (Pondok pesantren) Syamailul Huda. yang dipimpinan oleh seorang Guru besar Sayyid Muhammad bin Hasyim bin Tohir Al Alawi Al Hadromi, keturunan Hadrol Maut yang tinggal di Jl. Dahrian (sekarang Jl. Semarang) Pekalongan. Di Syamailul Huda, Rd Abdullah bin Nuh kecil mondok bersama 30 orang sahabat seniornya yang sudah terlebih dahulu bermukim dan belajar disana. Mereka datang dari berbagai daerah. Ambon, Menado, Surabaya, Malaysia bahkan ada juga yang dari Singapore.

Tahun
1922, Sayyid Muhammad bin Hasyim Hijrah ke Surabaya. KH Abdullah bin Nuh ikut diboyong, karena Beliau merupakan salah seorang murid terbaik yang menjadi kesayangannya. Di Surabaya Sayyid Muhammad bin Hasyim mendirikan “Hadrolmaut School”. Selain digembleng cara mengajar, berpidato, memimpin dan lain-lain yang diperlukan, di “Hadromaut School” itupun KH Abdullah bin Nuh diperbantukan untuk mengajar.

Memasuki tahun
1925, KH Abdullah bin Nuh bersama 15 orang murid pilihan lainnya dibawa oleh Sayyid Muhammad bin Hasyim ke Mesir dalam upaya memperdalam ilmu agama diperguruan tinggi Mesir yang waktu itu hanya ada dua, yakni Jamiatul Azhar (syari’ah) dan Madrasah Darul Ulum Al Ulya (Al-Adaab). Peristiwa itu bertepatan dengan didudukinya Kota Mekkah Almukaromah oleh Wahabiyyin yang berbuntut dengan keluarnya Malik Husen meninggalkan Makkah.

Selama di Mesir, mula-mula tinggal di Syari’ul Hilmiyyah, lalu berpindah ke Syari’ul Bi’tsah Bi Midanil Abbasyiah dan diperbantukan menjadi khodam-khodam/tukang masaknya orang orang Yaman, sedangkan di Al Azhar, KH Abdullah bin Nuh tidak belajar bahasa Arab lagi, karena memang sebelum berangkat kesana Beliau sudah benar-benar pandai dan ahli, bahkan sudah mengusai pula berbagai bahasa lainnya, disana Beliau hanya mempelajari dan memperdalam ilmu fiqih.

Siang malam KH. Abdullah bin Nuh nyaris tidak ada hentinya untuk belajar, usai belajar dari Jami’atul Azhar, pulang kerumah hanya berganti pakaian, kemudian keluar lagi dengan memakai pantolan, berdasi dan memakai torbus untuk mengikuti pengajian-pengajian diluar Al Azhar. Mahasiswa Al Azhar mempunyai ciri khas yakni berjubah dan mengenakan sorban yang dililitkan kepala (udeng).

KH Abdullah bin Nuh belajar di Mesir hanya 2 tahun, itupun dikarenakan putra gurunya yang beliau temani tidak merasa betah, sedangkan Guru besar Sayyid Muhammad bin Hasyim pulang ke Hardomaut, akhirnya KH Abdullah bin Nuh memutuskan untuk pulang ke Indonesia.(End/Gentra Madani)


SEKELUMIT TENTANG KH ABDULLAH bin NUH

I Djatnika

Banyak kaum muslimin yang bermukim di Kota Bogor tidak mengenal adanya Yayasan Islamic Center atau Pesantren Al Ghazali yang terletak di Jalan Cempaka, Bogor. Apalagi sosok pimpinannya, yaitu KH Abdullah bin Nuh (Almarhum). Hal itu mudah dipahami karena di pesantren itu tidak mengutamakan popularitas. Sepinya propaganda tentang pesantren itu, mungkin berkaitan dengan kesufian Sang Ajengannya yang tidak mengehendaki demikian. Jadi lebih tidak aneh lagi kalau kaum muslimin di Indonesia tidak mengenal keberadaan pesantren itu. Namun sedikit dikenal di Yordania karena banyak tulisan beliau (dalam Bahasa Arab) beredar di sana, bahkan menurut penuturan beberapa santrinya yang pernah berkunjung ke negara itu, di Istana Raja Yordan terpampang sajak beliau.

KH Abdullah bin Nuh lahir di kalangan pesantren di Cianjur 30 Juni 1905. Beliau banyak menimba ilmu keagamaannya di Cairo dan beberapa pesantren di Jawa. Pada zaman revolusi, beliau ikut terjun langsung dalam kancah perjuangan dengan memimpin tentara PETA (Pembela Tanah Air) sebagai Daidanco (1943-1945) untuk wilayah Cianjur, Bogor dan Sukabumi.

Banyak buku-buku yang beliau tulis. Baik itu dalam Bahasa Arab, Indonesia dan Sunda. Baik itu tarjamahan maupun pemikirannya. Buku tarjamahannya yang paling dikenal oleh para santrinya yaitu Minhajul ‘Abidin (Menuju Mukmin Sejati) dari karya Imam Al Ghazali, sedangkan buku karangannya yang paling dikenal dan terus dipelajari oleh para santrinya di beberapa pesantren yang berada di Bogor, Cianjur dan Sukabumi, yaitu Ana Muslim.

Dalam memahami pemikirannya, sangatlah baik bagi kita untuk merunut tulisan-tulisan yang telah beliau terbitkan. Pada tahun 1925 M beliau menulis prosa yang berjudul Persaudaraan Islam (diterjamahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh istrinya yang tercinta Ibu Mursyidah). Dalam tulisan ini dengan jelas keinginan beliau supaya kaum muslimin di dunia ini bersatu padu menjadi suatu kekuatan yang dilandasi oleh rasa persaudaraan. Tanpa membedakan suku, ras dan bahasa. Di antaranya beliau menyatakan:”Anda saudaraku, karena kita sama-sama menyembah Tuhan yang satu. Mengikuti Rasul yang satu. Menghadap kiblat yang satu. Dan terkadang kita berkumpul di sebuah padang luas, yaitu Padang Arafah. Kita sama-sama lahir dari Hidayah Allah. Menyusu serta menyerap syariat Nabi Muhammad saw. Kita sama-sama bernaung di bawah langit kemanusian yang sempurna. Dan sama-sama berpijak pada bumi kepahlawan yang utama”. Beliau sangat merindukan kaum muslimin di dunia ini bersatu padu dan tidak mudah diadudombakan oleh mereka yang ingin menghancurkan akidah Islam. Memang, kadangkala kita terlena dalam menghabiskan energi untuk berdebat tentang perbedaan ilmu. Padahal ilmu bukan untuk diperdebatkan, tapi untuk diamalkan.

Tampaknya beliau sangat resah dan merasa prihatin dengan terpecah-pecahnya umat Islam di dunia ini sehingga kaum yang memusuhinya dengan mudah mengadu domba di antara kita. Setiap aliran dalam Islam dimaknai oleh pengikutnya bahwa alirannya yang paling benar, sedangkan yang lainnya salah. Apalagi hal itu dipertajam dengan hadits Nabi yang menyatakan bahwa Islam akan terpecah menjadi 73 golongan, dan hanya satu saja yang benar. Padahal dari uraian yang disajikan oleh Imam Al Ghazali, hadits itu menyatakan menjadi 73 golongan, dan hanya satu yang benar.

Sekalipun beliau mantan pimpinan Daidanco yang nota bene berbasis kemiliteran, tapi beliau sangat menghendaki dalam penyelesaian masalah penuh dengan kelembutan. Beliau selalu lembut dalam menghadapi berbagai masalah, tetapi sangat keras kalau sudah menyangkut pelecehan akidah.

Suatu saat beliau berbincang-bincang dengan penulis dan sopirnya (Mang Encep) di dalam mobil dalam suatu perjalanan dari Bogor ke Bandung. Beliau bercerita bagaimana cara mengajar tentang Islam kepada anak-anak kita. Menurut beliau, jangan sekali-kali memaksa anak untuk mengikuti kehendak kita. Ajarilah mereka dengan penuh kasih sayang. Ibaratnya kita sedang membentuk sebuh kursi dari rotan. Kita harus pelan-pelan dan hati-hati supaya rotan itu dapat kita bentuk sesuai dengan kehendak kita. Kalau kita paksakan rotan itu membentuk sesuatu dengan tergesa-gesa dan kasar, maka bukannya rotan itu akan membentuk sesuai dengan keinginan kita, malah rotan itu akan patah.

Pada suatu saat teman kuliah saya di S1 IPB menanyakan tentang pendapat pemahaman Islam yang agak “berbeda” yang dilontarkan oleh suatu kelompok. Tampaknya beliau tidak mau berkomentar tentang pemahaman itu. Beliau hanya mengatakan:”Kalau diibaratkan Islam itu buku Encyclopedia Americana yang terdiri lebih dari 30 jilid buku dan sekian ribu halaman, maka pengetahuan Mama tentang Islam baru sampai setangah halaman pertama saja. Jadi, Mama belum sampai ke ilmu yang dipelajari oleh kelompok itu.” (Beliau di kalangan pesantren Al Ghazali biasa dipanggil dengan sebutan Mama. Mama dalam Bahasa Sunda artinya Bapak). Dengan jawaban itu, si penanya terdiam, kemudian mengalihkan ke masalah lain. Saya memahami jawaban Mama demikian, karena untuk menghindari salah penafsiran si penanya. Beliau selalu berupaya untuk tidak memperdebatkan tentang perbedaan-perbedaan yang sifatnya furuiyah di antara umat Islam. Menurut beliau, kalau yang diperdebatkan adalah perbedaaanya, maka sampai kapanpun tidak akan pernah ada titik temu. Oleh karena itu, beliau lebih suka mencari kesamaan-kesamaan di antara kelompok sehingga tidak menimbulkan konflik-konflik yang tidak ada artinya.

Sejak tahun 1984, beliau sedang menerjamahkan tentang Ekonomi Islam yang ditulis dalam Bahasa Arab ke dalam Bahasa Indonesia. Biasanya sehabis sholat Isya beliau duduk di kursi kerjanya menceritakan tentang buku yang sedang diterjamahkannya itu. Seingat saya, dalam bab awal buku itu menceritakan tentang beberapa teori ekonomi yang dianut oleh para ekonom di dunia itu. Sayangnya saya mendengarkan cerita itu baru sampai ke Teori Ekonomi Liberal dan Marxisme ditinjau dari sudut pandang keislaman. Untuk membahas itu saja memerlukan beberapa bulan, dan saya tidak sempat lagi mendengarkan cerita beliau karena saya harus pindah ke tempat tinggal yang jauh dari rumah beliau. Tampaknya tarjamahannya tidak sempat diterbitkan seperti karya-karya beliau yang lainnya. Sayang sekali.

Itulah sekelelumit cerita seorang tokoh Islam dari Al Ghazali yang saya ketahui. Saya kerap mendampingi beliau kalau pergi ke beberapa tempat undangan. Saya sempat tinggal beberapa tahun di rumahnya sejak menikahi putrinya.

RIWAYAT HIDUP KH.R.ABDULLAH BIN KH.M.NUH BIN KH. M.IDRIS

Disusun oleh KH.M.Husnitamrin Padmawijaya

KH.R.ABDULLAH BIN NUH adalah seorang ulama Indonesia terkenal,sastrawan,penulis,pendidik dan pejuang kemerdekaan yang lahir di Cianjur,Jawa Barat,pada 26 Robi’u al—Tsani 1323(30 Juni 1905) dan wafat di Bogor pada 3 Rabi’u al-Awwal 1408(26 oktober1987).

Sejak kecil KH.R. Abdullah bin Nuh memperoleh pendidikan agama dari ayahnya KH.R.Nuh bin Idris,seorang ulama dikota Cianjur Jawa Barat.Disamping itu beliau masuk sekolah Al-I’anah yang didirikan oleh ayahnya.Dengan pendidikan tersebut beliau mampu berbicara dalam bahasa Arab.Pada usia yang relatif muda beliau sudah menghapal kitab Nahwu Alfiah(Tata bahasa Arab 1000 bait) diluar kepala.Beliau juga mempelajari sendiri bahasa Inggris dan Belanda.

Pada masa mudanya KH.R.Abdullah bin KH.R.Nuh aktif mengajar di Hadramaut School,sekaligus menjadi redaktur Hardramaut,majalah mingguan edisi Bahasa Arab di Surabaya,Jawa Timur(1922-1926).Selanjutnya beliau aktif mengajar di Cianjur dan Bogor (1928-1943).

Ketika perjuangan Indonesia memuncak,KH.R.Abdullah Bin Nuh terjun langsung ke kancah perjuangan sebagai Daidanco.Beliau menjadi anggota pembela tanah air atau PETA (1943-1945) untuk wilayah Cianjur,Sukabumi, dan Bogor.Sekitar 1945-1946 beliau memimpin Badan Keamanan Rakyat(BKR) dan Tentara Keamanan Rakyat(TKR).Pada 1948-1950 beliau menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat(KNIP) di Yogyakarta,Jawa Tengah,disamping sebagai kepala seksi siaran Bahasa Arab pada Radio Republik Indonesia(RRI)Yogyakarta dan dosen luar biasa pada Universitas Islam Indonesia (UII).

Pada tahun 1950-1964 KH.R.Abdullah bin Nuh memegang jabatan sebagai kepala siaran Bahasa Arab pada RRI Jakarta.Kemudian beliau menjabat Lektor kepala Fakultas sastra Universitas Indonesia.Tahun 1969 beliau mendirikan MAJLIS AL_GHAZALI dan pada 1 Muharram 1398H(29Januari 1978) mendirikan MAJLIS AL-IHYA, kedua-duanya di kota Bogor.Di kedua tempat pendidikan ini beliau sebagai sesepuh.

Di Bogor KH.R.Abdullah bin Nuh aktif melaksanakan kegiatan dakwah Islamiah dan mendidik kader-kader ulama.Beliau juga menyempatkan diri untuk menghadiri pertemuan-pertemuan dan seminar-seminar Internasional tentang Islam di beberapa negara ,antara lain Arab Saudi,Yordania,India,Irak,Iran,Australia,Thailand,Singapura dan Malaysia. Beliau juga ikut serta Konfrensi Islam Asia Afrika(KIAA) sebagai anggota panitia dan juru penerang yang terampil dan dinamis.

Keistimewaan KH.R.Abdullah bin Nuh sebagai ulama indonesia adalah kemampuannya menciptakan syi’ir Arab secara langsung(Irtijalan) dalam berbagai bentuk dan tujuan,seperi syi’ir pujian dan ratapan .Syi’ir-si’irnya telah dihimpun dalam Diwan ibn Nuh,berupa kasidah(118 Kasidah) yang terdiri dari 2731 bait.Smuanya dalam Bahasa Arab fusha (fasih) yang bernilai tinggi.

Karya tulis KH.R.Abdullah bin Nuh yang terkenal adalah kamus Indonesia-Arab-Inggris.Karya-karya yang lain yang ditulis dalam Bahasa Arab antra lain al-Alam al-Islami(Dunia Islam),fi Dzilail Ka’bah al-Bait al-Harom(Di Bawah Lindungan Ka’bah),La Thaifiyyata fi al-Islam(Tidak ada sekte dalam Islam),Ana Muslim(Aku Seorang Islam),Mu’allimu al-Arobiyyah(Guru Bahasa Arab),Al-Lu’lu al-Mantsur(permata yang bertebaran),Ahlan bi Ramadhan(selamat datang bulan ramadhan),Al-Tarawih(Shalat Tarawih),Al-Islam wa al-Syubhat al-‘ashriyah(Islam dan syubhat moderen),dan Al-Barohin(Argumentasi).Sedangkan karangan-karangan beliau yang ditulis dalam bahasa Indonesia adalah Cinta dan bahagia,Zakat dan dunia modern,Ukhuwah Islamiyah,Tafsir Al-Qur’an,Studi Islam dan Sejarah Islam di Jawa Barat hingga Zaman Keemasan Banten serta dalam bahasa Sunda,seperti Leyepaneun(bahan telaah mendalam),dan ringkasan Minhajul Abidin.Adapun karya terjemahan dari kitab Imam Al-Gozali adalah Minhajul ‘Abidin(Jalan bagi ahli ibadah),Al-Munqidz min al-Dhalal(Pembebas dari kesesatan),Ahlak(bahasa Sunda),Panutan Agung(Sejarah kanjeung Rasul Saw,bahasa Sunda),Al-dzikro(Peringatan;Bahasa Sunda) ,dan karya-karya lainnya


Komentar: Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]





<< Beranda

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Berlangganan Postingan [Atom]